![]() |
Jama'ah mesjid Islamic Center Lhokseumawe, Foto Fazir ramli |
Tidak sedikit dari umat muslim, lebih banyak
memperhatikan sesuatu dari luarnya. Menilai kualitas orang dari
kekayaan, pekerjaan, kecantikan, dan sebagainya. Tak terlepas dari itu,
bahkan kita hanya melihat sisi luar ibadah yang selama ini kita dirikan,
Salat, Zakat, Puasa, bahkan Haji telah tuntas kita kerjakan sesuai
dengan tuntunan yang diajarkan agama melalui bab Fikih Ibadah.
Selama ini, kita telah menunaikan kewajiban sebagai muslim, yang kita
anggap sebagai tabungan akhirat kelak. Mungkin dalam benak, kita akan
bertanya-tanya: Seberapa beratkah timbangan amalan yang kita tabung?
Berapa derajat pahalakah yang akan kita peroleh? Itulah pertanyaan umum
yang sering kita khayalkan.
Berangan mendapat pahala yang layak atas amalan di dunia untuk
akhirat kelak. Namun, ada satu hal penting yang sebenarnya kita lupakan,
yaitu: diterimakah amalan kita selama ini? Atau justru malah saldo
tabungan akhirat kita secuil, padahal sudah merasa melakukan banyak
ibadah. Atau bahkan saldonya minus? Yaa lalkhosaaroh (rugi)!
Tersebut dalam sebuah hadist Nabi Saw di Arbain Nawawi hadist ke 4,
riwayat Abdullah bin Mas’ud r.a.:”Dan sungguh seseorang dari kalian akan
ada yang beramal hingga dirinya berada dekat dengan surga kecuali
sejengkal saja lalu dia didahului oleh catatan (ketetapan taqdir) hingga
dia beramal dengan amalan penghuni neraka dan ada juga seseorang yang
beramal hingga dirinya berada dekat dengan neraka kecuali sejengkal saja
lalu dia didahului oleh catatan (ketetapan taqdir) hingga dia beramal
dengan amalan penghuni surga”.
Syeikh Usamah Al-Azhari dalam sebuah muhadoroh berkata: Poin penting
yang tersirat dalam hadis ini yang sering terlupakan oleh banyak orang
adalah, perbedaan antara amal perbuatan, dan apakah amal tersebut
diterima atau tidak.
Dalam hadis disebutkan orang tersebut mengerjakan perbuatan ahli
surga hingga saat usianya senja mendekati kematian, lalu ia mengerjakan
amalan ahli neraka, dan masuk ke neraka. Apakah ia terzolimi? Sebenarnya
amal perbuatannya selama itu tidak diterima. Karena ia tidak
memperhatikan perbedaan antara amal yang sahih dan amal yang diterima.
Betapa sedikit orang yang memperhatikan “apakah amalnya diterima atau
tidak”. Sebaliknya, kebanyakan hanya memperhatikan sahih tidaknya amal
perbuatan. Lalu ia hanya mengerjakan amal salih, layaknya salat fardhu.
Setelah itu ia lupa, apakah amalnya diterima Allah atau tidak.
Maka tidak mustahil seorang hamba beribadah seperti itu selama 40
sampai 50 tahun tanpa tau amalnya diterima atau tidak. Tidak mustahil
pula, di akhir hayatnya, ia justru mengakhirinya dengan perbuatan ahli
neraka yang terhina. Nauzubillah!
Dari sini, ternyata, perhatian kita terhadap syarat sebuah ibadah
diterima atau tidak, jauh lebih penting ketimbang mengerjakan ibadah itu
sendiri.
Yaitu, sebelum beramal salih, wajib hukumnya memperhatikan syarat
diterimanya sebuah amal salih. Apa syarat diterimanya sebuah amal salih?
Bilmitsal yattadhihul maqol! contoh Shalat.
Dalam sebuah hadis qudsi riwayat Ibn Abbas yang ditulis oleh Bazzar,
Rasul bersabda: Allah berfirman: “Aku menerima salat hambaKu yang
berendah diri karena kebesaranKu, yang tidak buruk perkataannya terhadap
makhlukKu, tidak terbiasa berbuat maksiat/fasiq, menyempatkan waktunya
untuk berzikir padaKu, dan menyayangi orang miskin, ibnu sabil, janda,
dan orang yang mendapat musibah”
Artinya, salat yang tidak makbul bukan berarti Salatnya tidak sah.
Karena, Salat seorang muslim bisa jadi Sahih sesuai hukum Fikih dengan
memenuhi syarat sahnya Salat, namun Salatnya tidak makbul karena tidak
memenuhi syarat diterimanya sebuah amal ibadah.
Salat seorang hamba yang hanya memperhatikan kesahihannya, tanpa
peduli apakah salatnya sudah memenuhi syarat makbul atau tidak, maka ia
akan sangat merugi. Tersebut dalam hadis qudsi di atas, syarat Salat
yang makbul adalah “yang tidak buruk perkataannya”.
Artinya, selain mengerjakan Salat fardhu, ia juga memperhatikan
bagaimana ia bermuamalah dengan orang lain. Menjaga lisan dan
perbuatannya agar tidak menzolimi orang lain dengan melakukan hal-hal
yang diharamkan seperti ghibah, mencela, hasad, mengadu domba dan
sebagainya.
Tak hanya itu, ia juga harus mampu menjaga diri agar tidak terbiasa
bermaksiat yang dapat menyebabkan Salatnya tidak diterima Allah. Hal-hal
maksiat itulah yang menutupi terkabulnya do’a dan Salat seorang hamba.
Sehingga jika ada seorang hamba yang berbuat demikian, Salat dan
beribadah selama puluhan tahun namun tetap bermaksiat kepada Allah atau
menzolimi orang lain, maka saat ia mengira amalan ibadahnya telah
terkumpul, ternyata yang ia dapatkan hanya timbangan kosong. Lantaran
ibadahnya tidak diterima oleh Allah selama hidupnya kecuali hanya
sedikit saja.
Semoga kita termasuk muslim yang tidak hanya memperhatikan ibadah
dari segi kesahihannya saja, namun juga memperhatikan segi diterima atau
tidaknya ibadah itu oleh Allah. Sehingga waktu dan usia yang kita
habiskan selama puluhan tahun tidak akan terbuang sia-sia.
Penulis: Mohammad Hendri Alfaruq www.aktual.com
0 komentar:
Posting Komentar